Terumbu Karang
Indonesia yang dikenal sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, memiliki sumberdaya alam laut yang sangat potensial. Salah satunya adalah sumberdaya terumbu karang yang hampir tersebar di seluruh perairan Indonesia. Luas terumbu karang Indonesia saat ini adalah 42.000 Km2 atau 16.5% dari luas terumbu karang dunia, yaitu seluas 255.300 km2, dengan estimasi di atas, Indonesia menduduki peringkat terluas ke-2 di dunia setelah Australia, yang mempunyai luas terumbu karang sebesar 48.000 Km2 (Bryant, et al., 1998). Namun demikian apabila dilihat dari sisi keanekaragaman hayati, terumbu karang Indonesia merupakat pusat keanekaragaman hayati dunia dengan 70 genera dan 450 spesies (Veron, 1995).
Menurut hasil penelitian Pusat Pengembangan Oseanologi (P2O) LIPI yang dilakukan pada tahun 2000, kondisi terumbu karang Indonesia 41.78% dalam keadaan rusak, 28.30% dalam keadaan sedang, 23.72% dalam keadaan baik dan 6.20% dalam keadaan sangat baik (Dahuri, 2004).
Terumbu Karang dan Karang
Terumbu karang adalah struktur di dasar laut berupa deposit kalsium karbonat yang dihasilkan terutama oleh hewan karang. Karang adalah hewan yang tak bertulang belakang yang termasuk dalam filum Coelenterata (hewan berongga) atau Cnidaria, yang disebut sebagai karang (Coral) mencakup karang dari Ordo Sclerectinia dan Sub Kelas Octocoralia (Kelas Anthozoa) maupun kelas Hydrozoa (Timotius, 2003).
Zooxanthellae merupakan jenis alga dinoflagellata yang berwarna coklat dan kuning yang hidup di dalam jaringan tubuh karang batu. Zooxanthellae dan karang memiliki hubungan simbiosis yang saling menguntungkan. Zooxanthellae menyediakan makanan untuk polip karang melalui proses memasak yang disebut fotosintesis, sedangkan polip karang menyediakan tempat tinggal yang aman dan terlindung untuk zooxanthellae (Pamungkas, 2008)
a. Cahaya
Pengaruh cahaya sangat penting bagi pertumbuhan terumbu karang dikarenakan pada polip terumbu karang, hidup zooxanthellae yang melakukan fotosintesis. Hasil fotosintesis tersebut dimanfaatkan oleh hewan karang sebagai nutrisi. Kebutuhan hewan karang terhadap intensitas cahaya berkisar antara 200-700 f.c (foot candela), sedangkan intensitas cahaya di permukaan laut secara umum berkisar antara 2.500-5.000 f.c.
b. Kedalaman
Berkaitan dengan pengaruh cahaya (illumination) terhadap pertumbuhan karang maka faktor kedalaman juga sangat membatasi keberadaan terumbu karang. Kebanyakan terumbu karang hidup di bawah 25 meter. Hewan karang tidak dapat berkembang di perairan yang lebih dalam dari 50-70 m. Semakin dalam suatu lautan maka semakin berkurang cahaya yang dapat masuk ke dalam lautan tersebut, sehingga akan mempengaruhi laju fotosintesis. Terumbu karang hidup dengan baik pada kedalaman kurang dari 20 m (Nybakken, 1988) .
Cahaya dan kedalaman berperang penting untuk kelangsungan proses fotosintesis oleh zooxanthellae yang terdapat di jaringan karang. Terumbu yang dibangun karang hermatipik dapat hidup di perairan dengan kedalaman maksimal 50-70 meter, dan umumnya berkembang di kedalaman 25 meter atau kurang. Titik kompensasi untuk karang hermatipik berkembang menjadi terumbu adalah pada kedalaman dengan intensitas cahaya 15-20% dari intensitas di permukaan (Nababan, 2009).
c. Sedimentasi
Terumbu karang sangat sensitif terhadap sedimentasi. Akibatnya, terumbu karang tidak lagi ditemukan pada daerah yang terlalu banyak pemasukan air tawar yang membawa banyak endapan lumpur. Kebanyakan hewan karang tidak dapat bertahan karena adanya endapan yang menutupinya, sehingga menyebabkan terhalanginya cahaya matahari yang dibutuhkan oleh zooxanthellae untuk berfotosintesis, serta menghalangi polip karang untuk menangkap makanannya, sehingga akan menyebabkan kematian bagi karang (Supriharyono, 2000a).
Suharsono (1996) menyatakan bahwa sedimen diketahui dapat mempengaruhi pertumbuhan karang. Selain itu, juga menentukan bentuk pertumbuhan karang. Ada kecenderungan bahwa karang akan beradaptasi di perairan yang sedimennya tinggi, dengan membentuk struktur pertumbuhan seperti foliate (lembaran), branching (bercabang) dan ramose (karangan bunga). Sedangkan di perairan yang jernih atau sedimentasinya rendah lebih banyak dihuni oleh karang yang berbentuk piring (plate dan digitate plate).
d. Salinitas
Salinitas juga merupakan faktor pembatas kehidupan binatang karang. Salinitas air laut di daerah tropis adalah sekitar 350/00. Pengaruh salinitas terhadap kehidupan hewan karang sangat bervariasi tergantung pada kondisi perairan laut setempat atau pengaruh alam, seperti aliran permukaan (run-off), badai, dan hujan sehingga salinitas akan berubah (Supriharyono, 2000a).
Daya tahan setiap jenis hewan karang tidaklah sama. Hewan karang dapat hidup paling baik pada kisaran salinitas air laut yang normal yaitu antara 32-36 0/00. Bahkan, salinitas di bawah minimum dan maksimum terkadang hewan karang masih dapat hidup. (Nybakken, 1988).
e. Substrat
Hewan karang membutuhkan substrat yang keras dan kompak untuk menempel, terutama larva planula dalam pembentukan koloni baru dari karang, yang mencari substrat yang keras. Substrat ini dapat berupa benda padat yang ada di dasar laut, seperti batu, cangkang moluska, potongan-potongan kayu, bahkan besi yang terbenam, namun setiap jenis karang tertentu juga memiliki daya tahan tertentu juga memiliki daya tahan yang berbeda pada benda benda tersebut. Karang mati yang tenggelam di dasar laut juga dapat ditumbuhi berbagai jenis hewan karang (Tomascik, et al., 1997).
f. Oksigen Terlarut (DO)
Oksigen terlarut merupakan faktor yang paling penting bagi organisme air. Kehidupan di air dapat bertahan jika ada oksigen terlarut minimum sebanyak 5 mg oksigen dalam setiap liter air. Banyaknya oksigen terlarut melalui udara ke air tergantung pada luas permukaan air, suhu, dan salinitas air. Oksigen yang terlarut berasal dari proses fotosintesis tumbuhan dan tergantung pada kerapatan tumbuh-tumbuhan air dan intensitas cahaya yang samapai ke dalam air tersebut. Kenaikan suhu pada perairan dapat menyebabkan penurunan kadar oksigen terlarut (Barus, 2004).
g. Biological Oxygen Demand (BOD)
Biological Oxygen Demand merupakan nilai yang menyatakan jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme aerob dalam proses penguraian senyawa organik yang di ukur pada suhu 200C. Pengujian BOD yang dapat di terima adalah pengukuran oksigen yang akan dihabiskan dalam 5 hari oleh mikroorganisme pengurai aerobik dalam suatu volume limbah, karena selama masa inkubasi 5 hari sudah memperlihatkan besar persentase yang cukup yaitu lebih kurang 70% dari seluruh bahan organik telah terurai (Brower et al., 1990)
h. Derajat Keasaman (pH)
Nilai pH (puisdance de hydrogene) menyatakan nilai konsentrasi ion hidrogen dalam suatu larutan yang didefenisikan sebagai logaritma dari resiprokal aktivitas ion hidrogen dan secara matematis dinyatakan sebagai pH=log 1/H+. Persamaan tersebut menyatakan banyaknya ion hidrogen dalam mol per liter larutan. Kemampuan air untuk melepaskan dan mengikat sejumlah ion hidrogen akan menunjukkan larutan tersebut asam atau basa. Nilai pH yang ideal bagi kehidupan organisme air pada umumnya terdapat antara 7 sampai 8,5. Kondisi perairan yang bersifat sangat asam maupun basa, akan menyebabkan terjadinya gangguan metabolisme dan respirasi (Odum, 1994).
Stres berupa panas, dingin, terang, dan gelap, terutama meningginya suhu air laut menyebabkan rusaknya hubungan simbiosisme antara karang dengan zooxanthellae pada karang tersebut. Semakin banyak karbondioksida dilepas ke atmosfir semakin banyak pula yang kembali ke laut melaui air hujan dan mengubah pH (derajat keasaman) air laut menjadi lebih rendah atau makin asam. Turunnya pH air laut ini menyebabkan karang menjadi keropos (coral osteoporosis) (Nababan, 2009).
i. Suhu
Karang pembentuk terumbu sangat peka terhadap suhu bahkan terbatas keberadaannya di perairan hangat karena karang tersebut tumbuh pada temperatur antara 18-270C (Romimohtarto & Juwana., 2001). Suhu yang baik bagi terumbu karang berkisar 180C, dimana masih terdapat sinar matahari, namun pada suhu antara 18-290C terumbu karang masih dapat bertahan (Supriharyono, 2000b).
Terumbu Karang pada umumnya ditemukan pada perairan dengan suhu 18-360C, dengan suhu optimum 26-280C (Bikerland, 1997), tetapi menurut Nybakken (1988) terumbu karang masih dapat mentolelir suhu hingga 36-40 0C.
Daftar:
Pembentukan Terumbu Karang
Pembentukan terumbu karang merupakan proses yang lama dan kompleks. Berkaitan dengan pembentukan terumbu, karang terbagi atas dua kelompok, yaitu karang yang membentuk terumbu (karang hermatipik) dan karang yang tidak dapat membentuk terumbu (karang ahermatipik). Kelompok pertama dalam prosesnya bersimbiosis dengan zooxanthellae dan membutuhkan sinar matahari untuk membentuk bangunan dari kapur yang kemudian dikenal reefs building corals, sedangkan kelompok kedua tidak dapat membentuk bangunan kapur sehingga dikenal dengan non-reef building corals yang secara normal hidupnya tidak tergantung pada sinar matahari (Veron, 1986).Zooxanthellae merupakan jenis alga dinoflagellata yang berwarna coklat dan kuning yang hidup di dalam jaringan tubuh karang batu. Zooxanthellae dan karang memiliki hubungan simbiosis yang saling menguntungkan. Zooxanthellae menyediakan makanan untuk polip karang melalui proses memasak yang disebut fotosintesis, sedangkan polip karang menyediakan tempat tinggal yang aman dan terlindung untuk zooxanthellae (Pamungkas, 2008)
Tipe Formasi Terumbu Karang
- Nybakken (1988) mengelompokkan formasi karang (seperti terlihat pada Gambar 1) menjadi tiga kategori sebagai berikut :Terumbu karang tepi (Fringing Reef), yaitu terumbu karang yang terdapat di sepanjang pantai dan dalamnya tidak lebih dari 40 meter. Terumbu ini tumbuh ke permukaan dan ke arah laut terbuka. Tipe terumbu karang ini merupakan tipe terumbu karang yang paling umum, contohnya adalah Pulau Barrang Lompo dan Bone Batang.
- Terumbu karang penghalang (Barrier Reef), berada jauh dari pantai yang dipisahkan oleh gobah (laguna) dengan kedalaman 40-70 meter. Umumnya terumbu karang ini memanjang menyusuri pantai, contohnya adalah Pulau Kapoposang Kabupaten Pangkep.
- Atol, merupakan karang berbentuk melingkar seperti cincin yang muncul dari perairan dalam, jauh dari daratan dan melingkari gobah yang memiliki terumbu gobah atau terumbu petak, contohnya adalah Atol Takabonerate di Kabupaten Selayar.
Faktor Pembatas yang Mempengaruhi Pertumbuhan Karang
Kelestarian terumbu karang akan terjaga apabila kondisi lingkungan mendukung keberadaannya serta terjaga dari berbagai ancaman. Terumbu karang sangat peka terhadap kondisi lingkungan di perairan, diantaranya ialah (Supriharyono, 2000a) :a. Cahaya
Pengaruh cahaya sangat penting bagi pertumbuhan terumbu karang dikarenakan pada polip terumbu karang, hidup zooxanthellae yang melakukan fotosintesis. Hasil fotosintesis tersebut dimanfaatkan oleh hewan karang sebagai nutrisi. Kebutuhan hewan karang terhadap intensitas cahaya berkisar antara 200-700 f.c (foot candela), sedangkan intensitas cahaya di permukaan laut secara umum berkisar antara 2.500-5.000 f.c.
b. Kedalaman
Berkaitan dengan pengaruh cahaya (illumination) terhadap pertumbuhan karang maka faktor kedalaman juga sangat membatasi keberadaan terumbu karang. Kebanyakan terumbu karang hidup di bawah 25 meter. Hewan karang tidak dapat berkembang di perairan yang lebih dalam dari 50-70 m. Semakin dalam suatu lautan maka semakin berkurang cahaya yang dapat masuk ke dalam lautan tersebut, sehingga akan mempengaruhi laju fotosintesis. Terumbu karang hidup dengan baik pada kedalaman kurang dari 20 m (Nybakken, 1988) .
Cahaya dan kedalaman berperang penting untuk kelangsungan proses fotosintesis oleh zooxanthellae yang terdapat di jaringan karang. Terumbu yang dibangun karang hermatipik dapat hidup di perairan dengan kedalaman maksimal 50-70 meter, dan umumnya berkembang di kedalaman 25 meter atau kurang. Titik kompensasi untuk karang hermatipik berkembang menjadi terumbu adalah pada kedalaman dengan intensitas cahaya 15-20% dari intensitas di permukaan (Nababan, 2009).
c. Sedimentasi
Terumbu karang sangat sensitif terhadap sedimentasi. Akibatnya, terumbu karang tidak lagi ditemukan pada daerah yang terlalu banyak pemasukan air tawar yang membawa banyak endapan lumpur. Kebanyakan hewan karang tidak dapat bertahan karena adanya endapan yang menutupinya, sehingga menyebabkan terhalanginya cahaya matahari yang dibutuhkan oleh zooxanthellae untuk berfotosintesis, serta menghalangi polip karang untuk menangkap makanannya, sehingga akan menyebabkan kematian bagi karang (Supriharyono, 2000a).
Suharsono (1996) menyatakan bahwa sedimen diketahui dapat mempengaruhi pertumbuhan karang. Selain itu, juga menentukan bentuk pertumbuhan karang. Ada kecenderungan bahwa karang akan beradaptasi di perairan yang sedimennya tinggi, dengan membentuk struktur pertumbuhan seperti foliate (lembaran), branching (bercabang) dan ramose (karangan bunga). Sedangkan di perairan yang jernih atau sedimentasinya rendah lebih banyak dihuni oleh karang yang berbentuk piring (plate dan digitate plate).
d. Salinitas
Salinitas juga merupakan faktor pembatas kehidupan binatang karang. Salinitas air laut di daerah tropis adalah sekitar 350/00. Pengaruh salinitas terhadap kehidupan hewan karang sangat bervariasi tergantung pada kondisi perairan laut setempat atau pengaruh alam, seperti aliran permukaan (run-off), badai, dan hujan sehingga salinitas akan berubah (Supriharyono, 2000a).
Daya tahan setiap jenis hewan karang tidaklah sama. Hewan karang dapat hidup paling baik pada kisaran salinitas air laut yang normal yaitu antara 32-36 0/00. Bahkan, salinitas di bawah minimum dan maksimum terkadang hewan karang masih dapat hidup. (Nybakken, 1988).
e. Substrat
Hewan karang membutuhkan substrat yang keras dan kompak untuk menempel, terutama larva planula dalam pembentukan koloni baru dari karang, yang mencari substrat yang keras. Substrat ini dapat berupa benda padat yang ada di dasar laut, seperti batu, cangkang moluska, potongan-potongan kayu, bahkan besi yang terbenam, namun setiap jenis karang tertentu juga memiliki daya tahan tertentu juga memiliki daya tahan yang berbeda pada benda benda tersebut. Karang mati yang tenggelam di dasar laut juga dapat ditumbuhi berbagai jenis hewan karang (Tomascik, et al., 1997).
f. Oksigen Terlarut (DO)
Oksigen terlarut merupakan faktor yang paling penting bagi organisme air. Kehidupan di air dapat bertahan jika ada oksigen terlarut minimum sebanyak 5 mg oksigen dalam setiap liter air. Banyaknya oksigen terlarut melalui udara ke air tergantung pada luas permukaan air, suhu, dan salinitas air. Oksigen yang terlarut berasal dari proses fotosintesis tumbuhan dan tergantung pada kerapatan tumbuh-tumbuhan air dan intensitas cahaya yang samapai ke dalam air tersebut. Kenaikan suhu pada perairan dapat menyebabkan penurunan kadar oksigen terlarut (Barus, 2004).
g. Biological Oxygen Demand (BOD)
Biological Oxygen Demand merupakan nilai yang menyatakan jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme aerob dalam proses penguraian senyawa organik yang di ukur pada suhu 200C. Pengujian BOD yang dapat di terima adalah pengukuran oksigen yang akan dihabiskan dalam 5 hari oleh mikroorganisme pengurai aerobik dalam suatu volume limbah, karena selama masa inkubasi 5 hari sudah memperlihatkan besar persentase yang cukup yaitu lebih kurang 70% dari seluruh bahan organik telah terurai (Brower et al., 1990)
h. Derajat Keasaman (pH)
Nilai pH (puisdance de hydrogene) menyatakan nilai konsentrasi ion hidrogen dalam suatu larutan yang didefenisikan sebagai logaritma dari resiprokal aktivitas ion hidrogen dan secara matematis dinyatakan sebagai pH=log 1/H+. Persamaan tersebut menyatakan banyaknya ion hidrogen dalam mol per liter larutan. Kemampuan air untuk melepaskan dan mengikat sejumlah ion hidrogen akan menunjukkan larutan tersebut asam atau basa. Nilai pH yang ideal bagi kehidupan organisme air pada umumnya terdapat antara 7 sampai 8,5. Kondisi perairan yang bersifat sangat asam maupun basa, akan menyebabkan terjadinya gangguan metabolisme dan respirasi (Odum, 1994).
Stres berupa panas, dingin, terang, dan gelap, terutama meningginya suhu air laut menyebabkan rusaknya hubungan simbiosisme antara karang dengan zooxanthellae pada karang tersebut. Semakin banyak karbondioksida dilepas ke atmosfir semakin banyak pula yang kembali ke laut melaui air hujan dan mengubah pH (derajat keasaman) air laut menjadi lebih rendah atau makin asam. Turunnya pH air laut ini menyebabkan karang menjadi keropos (coral osteoporosis) (Nababan, 2009).
i. Suhu
Karang pembentuk terumbu sangat peka terhadap suhu bahkan terbatas keberadaannya di perairan hangat karena karang tersebut tumbuh pada temperatur antara 18-270C (Romimohtarto & Juwana., 2001). Suhu yang baik bagi terumbu karang berkisar 180C, dimana masih terdapat sinar matahari, namun pada suhu antara 18-290C terumbu karang masih dapat bertahan (Supriharyono, 2000b).
Terumbu Karang pada umumnya ditemukan pada perairan dengan suhu 18-360C, dengan suhu optimum 26-280C (Bikerland, 1997), tetapi menurut Nybakken (1988) terumbu karang masih dapat mentolelir suhu hingga 36-40 0C.
Daftar:
- Pengertian Terumbu karang
- Ekologi Karang
- Genus Karang Indo-pasific
No comments:
Post a Comment